Forum Kabaena™

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Berbagi Kabar & Info Disini - Follow Twitter @spiritualz_ dan @kabaena_

INFO UNTUK ANDA

Forum ini ada di Facebook

Share via Twitter

Follow Me : @kabaena_

Image hosted by servimg.com

Instagram Kabaena

Instagram

Kabaena Mailing List

Masukan Email Kamu:

Ngobrol Via Twitter

Latest topics

» HDD External New
Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a EmptyFri Jun 10, 2022 5:19 pm by dodolan

» Buah - Varau
Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a EmptyThu Dec 24, 2020 12:09 pm by kabaena

» 41 Istilah Pendakian
Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a EmptyWed Jan 23, 2019 11:19 am by kabaena

» Kabaena Kampo Tangkeno
Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a EmptySat Oct 27, 2018 9:36 am by kabaena

» 5 Manfaat Ubi Jalar untuk Kesehatan Tubuh
Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a EmptyFri Oct 26, 2018 11:17 am by fla

» Berapa biaya sewa pesawat pribadi atau helikopter?
Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a EmptyWed Oct 24, 2018 10:05 am by fla

» Cara menggunakan 1 akun WhatsApp di 2 smartphone android
Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a EmptyFri Oct 12, 2018 7:32 am by kabaena

» Cara Mudah Membuka Proteksi Password Microsoft Office Excel Tanpa Software
Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a EmptyWed Sep 12, 2018 10:42 am by kabaena

» Serial Number NERO 6
Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a EmptyMon Sep 10, 2018 9:36 am by kabaena

Your Space

LIVE STREAMING TV

Live Streaming

Online Radio Live

Radio Online

    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a

    ganz
    ganz


    Jumlah posting : 120
    Join date : 04.02.12

    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a Empty Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a

    Post  ganz Fri Nov 04, 2016 7:59 pm

    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a Makam-leluhur-di-perkampungan-tua-Kotua2
    Makam Raja : Makam Raja Kotu’a, La Pati Daeng Masaro Labi di Perbukitan Desa Tirongkotua yang kini terabaikan (Jumrad Raunde/ZONASULTRA.COM)

    ZONASULTRA.COM, RUMBIA – Kabaena Gunungnya Tinggi, Ombak di Laut Sama Ratanya, Rasa enak orang yang pergi, orang yang tinggal apa rasanya….

    Demikianlah sebait lagu yang diciptakan La Tuheru, seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia asal Maluku yang mengajar di Pulau Kabaena sekitar tahun 1930-an.

    Syair lagu tersebut, tidak saja mengantar rasa rindu akan kampung halaman, melainkan lebih jauh ke lubuk jiwa, bahwa Kabaena memiliki kisah legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut, yang kini sangat dirindukan pula. Legenda itu mulai sirna akibat pergeseran budaya dan arus global yang cukup deras.

    Kini diperoleh sebuah rekaman yang menceritakan tentang sejarah Kabaena. Penuturnya kini sudah almarhum tetapi dimasa lampau dia adalah salah seorang tokoh.

    Rekaman dalam bentuk MP3 setelah dikonversi oleh Sahrul (37), Direktur LSM Sagori, dari sebuah pita kaset, diperoleh dari Hardiyansah Bin Salahuddin Bin Radiman (35).

    Oleh penutur pada rekaman itu memperkenalkan dirinya bahwa ia adalah Radiman, anak dari Haradi (Mbue Pu’ununu). Ia menerima sejarah Kabaena dari ayahnya dan Serewu pada tahun 1932. Saat menerima cerita itu, Mbue Pu’ununu berusia 90 tahun dan Serewu berusia 95 tahun.

    Dikisahkan bahwa Pulau Kabaena awalnya terdapat tiga pembagian wilayah masing-masing adalah Batu Sangia, Sangia Wita dan Wumbu Rano.

    Beberapa lama kemudian berkembang lagi pemukiman dengan lahirnya Wonua Tirongkotua dan Wumbu Ntoli-Toli. Dari tiga menjadi lima pemukiman, maka ditetapkanlah namanya yaitu Kotu’a.

    Meski perkampungan telah menjadi 5 wilayah dengan nama pulau ditetapkan adalah Kotu’a, namun penting diketahui ialah siapa penghuni pertama di pulau mistik itu.

    Dikisahkan bahwa orang pertama di Pulau Kotu’a adalah Sawerigading dari Kerajaan Luwuk. Sawerigading membawa dan menempatkan 9 orang anggotanya di kaki gunung Batu Sangia. Sembilan orang dimaksud dipimpin oleh seorang bernama Doo Nsiolangi dan istrinya Walu’ea (janda yang dituakan).

    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a Gunung-Batu-Sangia
    Gunung Batu Sangia : Gunung Batu Sangia yang dikakinya terdapat pemukiman wargaTirongkotua. Pemukiman tersebut kini telah menjadi sebuah desa diantara 33 desa dan kelurahan yang terdapat di Pulau Kabaena. (Jumrad Raunde/ZONASULTRA.COM)

    Selang beberapa waktu, Sawerigadi melanjutkan petualangannya tanpa diketahui kemana tujuannya, begitu pula dengan Doo Nsiolangi tak diketahui kemana rimbanya. Hilangnya Doo Nsiolangi, maka Walu’ea-lah yang mengambil alih kepemimpinan.

    Dalam kepemimpinannya itu, mereka mulailah bercocok tanam dan berburu sebagai mata pencaharian hidup. Hingga panen tiba, maka berkeinginanlah ia untuk menyelenggarakan pesta.

    Untuk terlaksananya pesta, maka diperintahkanlah kepada anggotanya mencari aur untuk menanak nasi, yang belakangan disebut lemang (Tinula = bahasa moronene kabaena).

    Aur tersebut diambil dari “Kura Nkapa”. Ketika hendak dipotong pada ruas pertama bagian bawah aur itu, tiba-tiba dari dalam terdengar suara yang mengatakan, “Osie Kolo’o cokeena, dahoo nta konaa karuku,” (jangan potong disitu, sebab akan mengenai kaki saya”.

    Begitu pula ketika hendak dipotong pada ruas kedua dan selanjutnya, selalu terdengar suara yang mengatakan ‘Jangan potong pada bagian itu, sebab akan mengenai bagian tengah saya, demikian seterusnya.

    Hingga akhirnya, orang yang hendak mengambil aur itu, mencabut dan memotong lebih panjang pada bagian atas kepala sesuai peringatan pemilik suara dari dalam aur tersebut. (Bersambung)


    ganz
    ganz


    Jumlah posting : 120
    Join date : 04.02.12

    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a Empty Re: Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a

    Post  ganz Fri Nov 04, 2016 8:02 pm

    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a Makam-leluhur-di-perkampungan-tua-Kotua
    Makam : Makam leluhur di perkampungan tua Kotu’a yaitu di La’ohama yang terdapat pada batas wilayah Desa Tangkeno dan Tirongkotua kini. (Jumrad Raunde/ZONASULTRA.COM)

    Setelah aur itu dipotong, selanjutnya dibawa ke rumah Walu’ea. Di tempat itulah aur tersebut dibelah dan nampaklah seorang pemuda dengan wajah rupawan keluar dengan menggenggam keris yang oleh masyarakat Kabaena menyebutnya ‘Tobo Ntonki Wonua’ dan tombak bermata tiga (gala). Orang tersebut kemudian diberi nama ‘Tebota Tulanggadi’.

    Beberapa saat kemudian, konon Walu’ea memerintahkan pula anggota lainnya untuk menimba air di mata air Wataroda. Di mata air tersebut ia melihat bayangan seseorang berambut panjang.

    Setelah menengadah tampaklah ia seorang perempuan nun cantik jelita yang mengenakan kalung (ana enu = palonda; bahasa moronene kabaena).
    Dibawalah perempuan itu menghadap Walu’ea, kemudian ia diberi nama dengan gelar ‘Wulele Waru’ (Bunga Waru) setelah memperkenalkan dirinya bahwa ia adalah seorang putri kahyangan.

    Dua sejoli yaitu Tebota Tulanggadi dan Wulele Waru kemudian dijodohkan oleh Walu’ea. Namun sebelum pernikahan dilangsungkan, Wulele Waru menyampaikan syarat untuk kelanggenan rumah tangganya kelak yaitu ketika ada anak mereka, maka ia berpantang mencebok tinja anaknya.

    Syarat itu disetujui oleh Tebota Tulanggadi dan berlangsunglah pernikahan mereka. Konon orang yang menikahkan dan mendudukkan Tebota Tulanggadi dan istrinya sebagai Raja Kotu’a pertama adalah Wakakaa. Radiman dalam rekaman itu, menyebutkan bahwa Wakakaa juga adalah seorang lelaki yang juga ditemukan dari dalam bamboo halus (Tari Medili).

    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a Aliran-air-dari-Mata-Air-Wataroda
    Aliran air dari Mata Air Wataroda yang dahulu merupakan tempat mengambil sumber air minum bagi orang pertama yang tinggal di kaki gunung batu sangi.

    Nama itu diambil ketika orang yang hendak menebang bamboo halus itu mendengar suara mengatakan, “O’olokaa’ (hati-hati). Ucapan itu terdengar berulang-ulang, hingga kemudian bambu itu dibawa dan dibelah di rumah Walu’ea.

    Saat bambu halus itu terbelah, nampaklah seseorang yang sangat bersahaja, bertutur santun, dan sangat beradab. Konon Wakakaa inilah kemudian yang mengatur tentang prilaku, tata cara bertutur dan melantik raja, menyusun dan mengatur system adat perkawinan dan hukum adat lainnya.

    Setelah Tebota Tulanggadi dan Wulele Waru dinikahkan dan dinobatkan menjadi mokole (raja) Kotu’a. Beberapa waktu kemudian lahirlah seorang anak yang diberi nama La Pati. Konon diusianya yang masih bayi, La Pati buang air besar di ayunannya.

    Saat itu, ayahnya sedang rapat (tekongko) membahas perkara adat bersama Wakakaa. Sesuai kesepakatan sebelumnya, Wulele Waru menyuruh seseorang memanggil Mokole untuk mensucikan anaknya.

    Hingga kali ketiga dipanggil, Tebota Tulanggadi tidak berkesempatan memenuhinya. Berkatalah Wulele Waru, “Telah datang saatnya saya pergi”.

    Setelah menyucikan La Pati, menghilanglah permaisuri entah kemana. Ketika Mokole kembali ke rumah dan tidak menemukan istrinya, maka ia pun menyusulnya sembari menitip pesan kepada penjaga anak.

    “Saya titip La Pati, jika kalian rawat dengan baik maka ia adalah keuntungan besar buat kampong ini, sebaliknya bila ditelantarkan maka merugilah kalian,” ucap Tebota Tulanggadi dan kemudian menghilang.

    La Pati kemudian tumbuh hingga dewasa dan dilantik menjadi Mokole kedua di Kotu’a. Setelah dikukuhkan, ia pun kemudian berlayar mencari ayahnya hingga di Sulawesi Selatan tepatnya di Gowa.

    Di Gowa, La Pati tinggal di rumah salah seorang warga yang tak diketahui namanya hingga kini.

    Suatu hari, La Pati mendengar akan adanya pertemuan di lingkup Kerajaan Gowa. Diikutinyalah pertemuan itu. Dalam pertemuan, semua rakyat duduk bersila, sementara Raja Gowa duduk disinggasananya.

    Hal aneh pun terjadi, beberapa saat pertemuan berlangsung, hingga tak disadari bahwa tempat duduk La Pati telah sama dengan singgasana sang raja. Seusai rapat dan rakyat telah bubar, maka dipanggillah La Pati menghadap raja.

    Dalam percakapan La Pati dan Raja Gowa tersebut, terungkap bahwa ia sedang mencari ayahnya Tebota Tulanggadi, yang telah lama menghilang, sembari menunjukkan tobo ntonki wonua yang dibawanya.

    Berkatalah sang raja, bahwa dari keris yang ditunjukkan itu, mengindikasikan Tebota Tulanggadi adalah anaknya yang juga menghilang. Keris itupun kemudian diminta oleh raja tetapi dengan syarat sang raja menikahkan putrinya pada La Pati. Saat menikah, diberilah ia gelar dengan nama La Pati Daeng Masaro Labi.

    Oleh orang Kabaena kini, tidak mengetahui siapa nama istri Raja Kotu’a itu di Gowa. Akan tetapi berdasar yang dikisahkan Radiman, menyebutkan bahwa beberapa lama setelah menikah, kemudian istrinya hamil.

    Saat masih hamil, La Pati pulang di kampong halamannya. Sebelum pulang ia berpesan kepada istrinya bahwa ketika anak itu lahir dan berkeinginan untuk mencarinya, maka berlayarlah ia kearah timur.

    Ketika melihat sebuah pulau yang berlayarkan batu, maka itulah tempatnya ia bermukim bersama rakyat. (Bersambung)

    ganz
    ganz


    Jumlah posting : 120
    Join date : 04.02.12

    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a Empty Re: Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a

    Post  ganz Fri Nov 04, 2016 8:22 pm

    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a Kabaena_sultra
    Pulau Kabaena

    Sepeninggal La Pati, istrinya pun melahirkan beberapa bulan kemudian. Sang ibu merawat dan membesarkan anak itu hingga dewasa. Ketika telah menginjak usia dewasa, dia berkeinginan mencari ayahnya sebagaimana petunjuk dari ibundanya. Anak La Pati tersebut tidak disebutkan namanya oleh Radiman dalam rekaman audionya.

    Berlayarlah ia ke arah timur. Dari jauh terlihat olehnya tiga buah gunung berbentuk layar perahu mengembang. Semakin mendekat, nampaklah olehnya bahwa bentangan layar itu adalah gunung Batu Sangia, Sabampolulo dan Wumburano. Karena telah yakin bahwa pulau berbentuk layar itu merupakan tempat ayahnya, maka menepilah ia di Ncalaero, cikal bakal perkampungan yang kini menjadi Desa Pongkalaero.

    Menurut Radiman, ketika menepi di Onemea (dahulu disebut Ncalaero), rombongan anak La Pati tersebut didekati dan dibunuh oleh sekolompok orang Ncalaero. Sebelum terbunuh, anak raja itu mencabut cincin di jarinya dan membuangnya sembari berucap, “ Kecuali saya tidak benar anaknya La Pati, namun jika benar adanya, maka cincin pemberian dari ayah ini akan memberi petunjuk bagi kalian yang telah membunuh saya”. Tempat jatuhnya cincin anak La Pati itu kini diabadikan oleh masyarakat Kabaena dengan sebutan One Nidundu yaitu air mendidih yang muncul dari sumur berpasir.

    Radiman tidak pernah menyebutkan waktu dalam kisah yang ia ceritakan namun secara runut ia memaparkan bahwa para pembunuh itu kemudian disumpahi dan warga di kampung Ncalaero dikenakan sanksi berupa membayar denda kepada keluarga Mokole.

    Dari Penjara Hingga Sapati Kerajaan Buton

    Meski anaknya yang dari Gowa telah terbunuh oleh perompak Ncalaero, tetapi La Pati sesungguhnya telah memiliki tiga orang anak yang terdiri dari dua putera dan satu puteri. Radiman mengaku tidak mengetahui nama istri La Pati, namun ketiga anaknya ia ketahui masing-masing adalah Sugilara (anak pertama), Manjawari (kedua) dan Lelewula (ketiga).

    Ketiga anak La Pati itu kemudian tumbuh dan besar di lingkungannya. Hingga tibalah saatnya Sugilara diangkat dan dinobatkan menjadi Mokole Kotu’a menggantikan ayahnya, sedangkan Manjawari konon berangkat ke Buton dan Lele Wula menjadi Mokole Pertama di Kula yaitu suatu perkampungan yang menjadi cikal-bakal wilayah Lengora.

    Manjawari anak kedua adalah seorang yang cerdas, lincah namun agak nakal. Hobinya adalah menyabung ayam. Hingga suatu ketika berangkatlah ia ke Pulau Muna untuk menyalurkan hobinya itu sebagai penyabung ayam, akan tetapi orang Muna menangkapnya dan membawanya ke Kerajaan Buton. Konon, di Buton, Manjawari dipenjara dengan cara diikat kedua tangannya di bawah kolong rumah raja. Manjawari inilah yang kemudian dikenal Mia Yi Calu (orang terikat) oleh orang di lingkup Kerajaan Buton.

    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a Labuan_tabelo
    LABUAN TOBELO adalah kawasan berlabuhnya kapal perompak asal Tobelo di Pulau Kabaena di masa lampau. Kini kawasan itu telah menjadi kawasan pelabuhan khusus PT. Surya Saga Utama, salah satu perusahaan tambang yang bekerjasama dengan investor asal Rusia untuk membangun pabrik nikel (smelter). (Jumrad Raunde/ZONASULTRA.COM)

    Hingga suatu ketika, raja mengadakan sayembara. Sayembara itu dibuka dan berhak diikuti oleh kalangan umum. Yang disayembarakan adalah keahlian memainkan dan menendang seperti bola hingga memasukkan ke kamar sang putri raja melalui jendela. Siapa pun yang berhasil memasukkan sepakannya ke kamar putrinya itu, maka orang tersebutlah yang akan mengawini anaknya itu.

    Demikianlah sayembara berlangsung dan diikuti oleh semua orang. Sayembara itu terdengar oleh Mia Yi Calu, sehingga ia pun berkeinginan mengikutinya. Keinginan Manjawari itu disampaikan kepada penjaga penjara, dan kemudian diteruskan kepada raja. Raja Buton pun mengizinkannya untuk turut serta pada hajat tersebut.

    Mendapat kesempatan emas itu, Manjawari menunjukkan kelihaiannya. Sekira satu jam ia memainkan bola dengan kakinya, hingga kemudian ditendangnya dan berhasil sesuai ketentuan dalam sayembara itu.

    Oleh karena itu, setelah melalui urung rembuk di kalangan kerajaan dan bersebab mengamankan titah raja, sehingga Manjawari dinikahkan dengan si puteri raja yang diketahui bernama Wa Bana. (Bersambung)



    Penulis: Jumrad Raunde
    Editor: Jumriati




    ganz
    ganz


    Jumlah posting : 120
    Join date : 04.02.12

    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a Empty Re: Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a

    Post  ganz Sun Nov 13, 2016 11:22 pm

    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a Ore1
    Lulo Alu adalah salah satu tarian tradisional Kotu’a yang digelar oleh masyarakat sebagai bentuk kegembiraan usai panen (mongkoutu) padi. (Jumrad Raunde/ZONASULTRA.COM)

    Lagi-lagi Radiman (alm) tidak menyebut nama raja yang menikahkan anaknya itu kepada Manjawari, akan tetapi lebih jauh ia memaparkan bahwa sebab tidak disukainya Wa Bana dinikahi oleh Manjawari sehingga keduanya diminta untuk ditenggelamkan ke dasar laut.

    Konon untuk menenggelamkan keduanya, pihak kerajaan memberikan ‘koli-koli’ (sampan) terpotong. Manjawari terima saja pemberian itu, sebab ia telah mengetahui bahwa sampan yang tidak utuh itu merupakan salah satu cara untuk membunuhnya melalui cara ditenggelamkan.

    Sebelum meninggalkan tanah Buton, Manjawari berpesan kepada raja melalui dua petugas kerajaan bahwasanya suatu ketika kerajaan ini (Buton), akan mendapat kesulitan yang datangnya dari Kesultanan Ternate. “Bila hal itu terjadi, maka carilah saya di negeri seberang,” tutur Manjawari yang ditirukan oleh Radiman. Bertanyalah petugas kerajaan itu. “Bagaimana cara untuk dapat kami menemuimu?. Berkatalah Manjawari bahwa ia akan meninggalkan jejak di tengah lautan hingga ke tempat yang kami akan huni.

    Setelah itu, petugas kerajaan yang ditugaskan menenggelamkan dua sejoli itu, melepaskan Manjawari dan istrinya dan kemudian pulang melaporkan kepada raja bahwa perintah telah mereka laksanakan. Berselang setahun kemudian datanglah kesulitan kepada pihak kerajaan.

    Salah satunya yaitu menentukan pangkal dan pucuk dari potongan kayu bundar yang dikirim dari Kesultanan Ternate. Jika pertanyaan itu dijawab benar, maka Kesultanan Ternate sudah akan melepas Buton sebagai salah satu negeri yang merdeka.

    Mendapat pertanyaan itu, tak satupun dari pihak kerajaan yang dapat menjawabnya, sehingga teringatlah petugas kerajaan yaitu Bontona Peropa dan Bontona Wanailolo tentang pesan Manjawari dan seketika itu mereka mengemukakan pesan itu dihadapan raja.

    Berangkatlah kedua Bonto itu dan mendapati serta mengikuti jejak yang ditinggalkan Manjawari berupa alur putih memanjang laksana titian benang hingga ke daratan Muna (kawasan Mawasangka). Di daratan itu, kedua bonto tersebut mendapati sepasang manusia (laki-laki dan perempuan) (cikal-bakal orang balo di masa lampau), kemudian mereka membawa kedua orang itu bersama mereka.

    Kemudian melanjutkan perjalanan mengikuti alur jejak Manjawari yang membelok ke arah barat hingga ke daratan Kotu’a tepatnya di E’e Nkinekei (Air Galian) dalam bahasa Buton disebut Weetakalimbungu.

    Setibanya di daratan itu, kedua Bonto dan orang yang dibawanya bertemu dengan Wa Bana (Istri Manjawari) yang telah berambut sangat panjang untuk menutupi auratnya, sebab saat mereka diusir tidak diperkenankan untuk mengenakan sehelai kain pun.

    Mendapati suasana itu, maka berbungkuk lah para Bonto dan kemudian membelakangi Wa Bana setelah diperintahkan, kemudian melemparkan selembar sarung untuk menutupi auratnya. Konon peristiwa itulah yang menjadi cikal bakal prilaku penghormatan bonto kepada raja.

    Beberapa saat kemudian pulanglah Manjawari dari mencari umbi-umbian untuk makanan mereka keseharian. Setibanya di olompu (pondokan kecil), disampaikanlah perihal kesulitan yang dialami buton sejak mereka tinggalkan. Maka berkatalah ia, “kalian pulanglah lebih dahulu, sementara saya masih akan singgah berpamitan kepada bapak saya di Tangkeno (yaitu di Olongkontara, sebuah perkampungan tua di Kotu’a) dan dua orang itu biarlah mereka ikut dengan saya untuk diserahkan kepada Raja Kotu’a.

    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a Ore2
    ORE-ORE salah satu musik tradisional moronene Kotu’a sebagai sebagai modernisasi terhadap ritual mempercepat pembuahan terhadap padi dan jagung di ladang huma petani Kabaena di masa lampau. (Jumrad Raunde/ZONASULTRA.COM)

    Konon, setelah bertemu ayahnya (La Pati), Manjawari menyerahkan kedua orang yang bersama itu, kemudian ia dibekali dengan tombak bermata tiga (gala) dan sebuah keris untuk ke tanah Buton. Sesampainya di Buton,ia langsung ke rumah raja dan menyelesaikan persoalan tentang menentukan pankal dan pucuk dari potongan kayu bundar kiriman dari Kesultanan Ternate. Bersebab masalah itu dianggap selesai, sehingga terbentuklah Kesultanan dan Manjawari adalah putera Kotua yang menjadi Sapati Buton pertama.

    Di masa Manjawari sebagai Sapati, hubungan antara Mokole Kotu’a dengan Kesultanan Buton terjalin baik. Hal ini ditandai adanya pengiriman beras padi kepada Sapati usai panen (Mongkotu). Beras padi yang dikirim itu, oleh Manjawari kemudian membagikannya kepada keluarga kerajaan. Sehingga dikenallah Kotu’a sebagai daerah penghasil beras atau Mokobaena (bahasa wolio) yang artinya pemilik beras yang enak.

    Dasar Mokobaena itulah yang pada akhirnya semakin dikenal hingga akhirnya Kotu’a berubah nama menjadi Kobaena ketika pulau tersebut masuk dalam administrasi pemerintahan dati II Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. (***)



    Reporter : Jumrad Raunde
    Editor : Rustam



    Sponsored content


    Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a Empty Re: Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a

    Post  Sponsored content


      Waktu sekarang Wed May 08, 2024 7:54 am