Forum Kabaena™

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Berbagi Kabar & Info Disini - Follow Twitter @spiritualz_ dan @kabaena_

INFO UNTUK ANDA

Forum ini ada di Facebook

Share via Twitter

Follow Me : @kabaena_

Image hosted by servimg.com

Instagram Kabaena

Instagram

Kabaena Mailing List

Masukan Email Kamu:

Ngobrol Via Twitter

Latest topics

» HDD External New
Masa Lampau Anak-anak EmptyFri Jun 10, 2022 5:19 pm by dodolan

» Buah - Varau
Masa Lampau Anak-anak EmptyThu Dec 24, 2020 12:09 pm by kabaena

» 41 Istilah Pendakian
Masa Lampau Anak-anak EmptyWed Jan 23, 2019 11:19 am by kabaena

» Kabaena Kampo Tangkeno
Masa Lampau Anak-anak EmptySat Oct 27, 2018 9:36 am by kabaena

» 5 Manfaat Ubi Jalar untuk Kesehatan Tubuh
Masa Lampau Anak-anak EmptyFri Oct 26, 2018 11:17 am by fla

» Berapa biaya sewa pesawat pribadi atau helikopter?
Masa Lampau Anak-anak EmptyWed Oct 24, 2018 10:05 am by fla

» Cara menggunakan 1 akun WhatsApp di 2 smartphone android
Masa Lampau Anak-anak EmptyFri Oct 12, 2018 7:32 am by kabaena

» Cara Mudah Membuka Proteksi Password Microsoft Office Excel Tanpa Software
Masa Lampau Anak-anak EmptyWed Sep 12, 2018 10:42 am by kabaena

» Serial Number NERO 6
Masa Lampau Anak-anak EmptyMon Sep 10, 2018 9:36 am by kabaena

Your Space

LIVE STREAMING TV

Live Streaming

Online Radio Live

Radio Online

    Masa Lampau Anak-anak

    juanita_allen
    juanita_allen


    Jumlah posting : 32
    Join date : 21.01.13

    Masa Lampau Anak-anak Empty Masa Lampau Anak-anak

    Post  juanita_allen Sun Mar 09, 2014 12:05 pm

    Masa Lampau Anak-anak 932120628_KUNO_Sejarah-Anak-Anak-Masa-Lampau
    Sumber: www.borobudur.tv

    JALANAN macet. Hotel-hotel penuh. Beberapa objek wisata dipadati pengunjung. Bersama orangtua, di sanalah anak-anak masa kini menghabiskan masa liburan sekolah. Aktivitas yang karuan berbeda dari anak-anak di masa lampau.

    Tak banyak catatan sejarah perihal kehidupan anak-anak di masa lampau, termasuk gambaran fisiknya. Kisah mereka termaktub dalam beberapa prasasti, arca, dan relief candi di Jawa, serta tersua dalam beberapa naskah kuno Nusantara. Berbekal peninggalan itu, sejumlah arkeolog Universitas Indonesia berusaha merekonstruksi gambaran anak-anak di masa lampau.

    Dalam “Dinamika Kehidupan Anak-Anak Pada Masa Jawa Kuno Abad VII-XV Masehi”, termuat dalam Jurnal Makara Sosial Humaniora Vol 12 No 1 (2008), para arkeolog menyatakan bahwa anak-anak atau baala (dalam bahasa Sanskerta) dapat diartikan “manusia kecil yang masih sangat muda usia, yang di dalam pengarcaan maupun reliefnya diperkirakan berusia di bawah lima tahun (balita) hingga duabelas tahun atau lebih.”

    Kedudukan anak-anak sangat penting. Mereka menjadi penentu sebutan untuk menyapa seseorang. Dalam prasasti yang bertarikh abad ke-7-10, misalnya Jurungan, Mantyasih III, Taji Panggumulan, Poh, Baru, dan Wuatan Tija, nama seseorang diikuti dengan nama anaknya. Contohnya, si mula rama ni asti yang berarti si Mula bapaknya Asti. “Catatan semacam ini diduga merupakan pencatatan bagi penduduk setempat,” tulis S Kuparyati dkk.

    Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna menguatkan pendapat itu. Menurutnya, sebutan itu dipakai sebagai ungkapan kekerabatan yang akrab antarpenduduk dan juga sebentuk penghormatan untuk si anak. Biasanya nama yang digunakan adalah anak atau cucu pertama. Dia juga bersepakat bahwa sebutan itu merupakan istilah tertentu yang dipakai penduduk di sejumlah desa untuk menyebut seseorang yang punya anak atau cucu. Dengan demikian, ada perbedaan sebutan untuk mereka yang sudah berkeluarga dengan yang belum.

    Sementara itu, relief di Candi Borobudur (abad ke-9) menggambarkan salah satu ragam hiburan anak-anak masa itu. Untuk mencari hiburan, anak-anak pergi ke pasar, didampingi orangtuanya. Di sana, kelompok pertunjukan keliling jamak ditemui. Akrobat salah satunya. Anak-anak senang melihat pertunjukan ini sehingga orangtua rela bersusah-payah mengangkat anaknya agar dapat melihat pertunjukan dengan lebih jelas.

    Serupa orangtuanya, anak-anak dalam relief tersebut hampir tak berpakaian. Hanya sumping (semacam kalung) yang menghiasi tubuhnya. Menurut S Kuparyati dkk, cara berpakaian itu menunjukan kelas sosial orangtuanya. “Anak bangsawan atau golongan kaya berbusana mewah, anak golongan madya berbusana sederhana, dan anak dari golongan miskin berbusana minim.” Meski berpakaian minim, tubuh anak-anak terlihat gemuk, pipinya montok, dan wajahnya ceria.

    Selain relief tersebut, termaktub pula relief anak yang tengah sakit. Dia berasal dari keluarga miskin. Terbaring lemah dengan alas seadanya. Badannya kurus, sedangkan orangtuanya dan para tetangga tampak cemas. Sakit sang anak diketahui lantaran orangtua melanggar ketentuan makan daging atau memancing ikan beracun. Seseorang kemudian mencoba menolong anak malang itu.

    Di bagian lain, terdapat relief aktivitas anak-anak yang bertalian dengan pengenalan keagamaan. Ditemani orangtuanya, anak-anak berbusana bodhisatwa menghadap dewa. Relief ini menunjukan kisah awal anak-anak menerima pendidikan. Kala itu, pendidikan dan keagamaan terkait erat. Mereka belajar menulis dan membaca aksara Sanskrit agar mengetahui kitab sucinya. Umumnya pendidikan dimulai sejak mereka berusia lima tahun. Menjelang remaja, ada yang mesti tinggal di asrama (nyantri). Dua naskah kuno pada masa Majapahit, Nitisastra dan Sarasamuccaya, memuat keterangan tersebut.

    Jumlah populasi anak-anak kala itu tak diketahui dengan pasti. Hanya ada gambaran tingkat kematian anak-anak melalui arca Dewi Hariti, dewi pelindung anak-anak, di beberapa candi Budha seperti Mendut. Anak-anak bermain dengan riang di sekitar Dewi Hariti. Beberapa bahkan bergelantungan di pepohonan dan tubuh Dewi Hariti.

    Keberadaan arca Dewi Hariti ditujukan sebagai pengusir pengaruh jahat yang mungkin menimpa anak-anak. “Tersebab itu, Dewi Hariti sangat dipuja sebagai pelindung anak-anak karena kematian yang tinggi di kalangan anak-anak pada masa kuno,” tulis L Chandra dalam “An Indonesian Copper-Plate”, Jurnal KITLV No 133 (1977).

    Memasuki abad ke-17, Islam memberi pengaruh pada kehidupan anak-anak. Beberapa raja mulai mengadakan pesta khitan besar-besaran untuk sang anak. Anthony Reid, mengutip Scott, menggambarkannya dengan contoh Kesultanan Banten. “Di lapangan alun-alun depan istana, sebuah anjungan besar didirikan tempat sang raja-kanak harus-duduk diam,” tulis Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga.

    Anak-anak pun mulai diberikan pakaian sejak dini, baik lelaki maupun perempuan. Mereka yang dulunya belajar aksara dan bahasa Sanskrit, kini mesti belajar aksara dan bahasa Arab-Melayu. Sistem pendidikan anak di masa ini mengadopsi sistem sebelumnya seperti nyantri, tinggal di asrama. Beberapa mainan baru mulai muncul semisal gasing. Tradisi mendengarkan tembang segera populer, terutama yang bertalian dengan ajaran Islam.
    Demikianlah, anak-anak berkembang sesuai zamannya.

      Waktu sekarang Mon Apr 29, 2024 12:03 pm