“Desa di Tengah Laut, Tak Ada Hamparan Sawah di Sini…”
Pulau Saponda di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara
Desa, bagi sebagian besar kita identik dengan keindahan alam berupa hamparan sawah yang menghijau. Nun jauh di sana tampak berdiri kokoh gunung yang tinggi. Pun sungai jernih yang mengalir dari gunung dan mengaliri sawah-sawah milik petani. Gambaran itulah yang tertanam di benak kita sejak masa kanak-kanak tentang desa. Ketika tiba pelajaran menggambar di bangku sekolah, maka formasi sawah, gunung,pohon, sungai dan petani menjadi rumus baku gambar untuk pemandangan alam desa.
Gambaran tersebut ternyata jauh berbeda jika mengunjungi dua desa di tengah laut itu. Pulau Saponda namanya, sebuah pulau kecil di perairan Sulawesi Tenggara. Dengan luas sekitar 6 hektar, dan selalu berkurang tiap tahun akibat abrasi, pulau itu tampak padat dihuni oleh sekitar dua ribu jiwa manusia. Meski luasnya tak seberapa, pulau tersebut terbagi menjadi dua desa yakni Desa Saponda dan Desa Saponda Laut. Mayoritas warga adalah Suku Bajo, bangsa nelayan yang hebat di lautan.
Di pulau tersebut berdiri rumah-rumah, baik rumah panggung khas nelayan maupun rumah tembok. Tak ada hamparan sawah di Saponda, namun hamparan pasir putih di pantai dan gemuruh ombak di lautan sungguh elok untuk dinikmati. Di tempat itulah tumbuh dan berkembang anak-anak Saponda di bawah asuhan alam laut.
Memang ada satu sekolah di Saponda, yakni SD dan SMP dalam satu atap gedung. Namun kondisi kesejahteraan, panggilan alam dan jiwa pelaut yang mendarah daging, membuat anak-anak Saponda lebih memilih melaut usai masa sekolah.
“Anak-anak di sini setamat SD biasanya pergi melaut, tapi saya ingin anak saya melanjutkan sekolah SMP di Kendari, di sana bisa ikut kerabat mereka.
Jika malam tiba, bulan purnama di atas Saponda terlihat eloknya. Cahaya bulan yang seolah lebih terang dari lampu-lampu di rumah warga yang berasal dari mesin berbahan bakar solar dan akan mati tiap pukul 11 malam setelah dinyalakan jam 6 sore. Listrik memang barang mewah di Saponda, tak ada aliran dari PLN. Bahkan pembangkit listrik tenaga surya pun tidak berfungsi lagi di sana.
Anak-anak Saponda usai belajar di sekolah seolah menikmati masa kecilnya dengan bermain bersama di alam. Tak ada permainan modern seperti yang lazim dijual di mal di perkotaan, permainan mereka cukup sederhana. Entah itu bermain masak-masakan, ayunan dari tali seadanya, mencari kerang di pinggir laut ataupun bermain kejar-kejaran di pantai.
Anak-anak Saponda bermain ayunan
Anak-anak Saponda bermain di pantai
Rumah nelayan di Saponda
Anak-sekolah SD
sumber & photo:
widikurniawan
Pulau Saponda di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara
Desa, bagi sebagian besar kita identik dengan keindahan alam berupa hamparan sawah yang menghijau. Nun jauh di sana tampak berdiri kokoh gunung yang tinggi. Pun sungai jernih yang mengalir dari gunung dan mengaliri sawah-sawah milik petani. Gambaran itulah yang tertanam di benak kita sejak masa kanak-kanak tentang desa. Ketika tiba pelajaran menggambar di bangku sekolah, maka formasi sawah, gunung,pohon, sungai dan petani menjadi rumus baku gambar untuk pemandangan alam desa.
Gambaran tersebut ternyata jauh berbeda jika mengunjungi dua desa di tengah laut itu. Pulau Saponda namanya, sebuah pulau kecil di perairan Sulawesi Tenggara. Dengan luas sekitar 6 hektar, dan selalu berkurang tiap tahun akibat abrasi, pulau itu tampak padat dihuni oleh sekitar dua ribu jiwa manusia. Meski luasnya tak seberapa, pulau tersebut terbagi menjadi dua desa yakni Desa Saponda dan Desa Saponda Laut. Mayoritas warga adalah Suku Bajo, bangsa nelayan yang hebat di lautan.
Di pulau tersebut berdiri rumah-rumah, baik rumah panggung khas nelayan maupun rumah tembok. Tak ada hamparan sawah di Saponda, namun hamparan pasir putih di pantai dan gemuruh ombak di lautan sungguh elok untuk dinikmati. Di tempat itulah tumbuh dan berkembang anak-anak Saponda di bawah asuhan alam laut.
Memang ada satu sekolah di Saponda, yakni SD dan SMP dalam satu atap gedung. Namun kondisi kesejahteraan, panggilan alam dan jiwa pelaut yang mendarah daging, membuat anak-anak Saponda lebih memilih melaut usai masa sekolah.
“Anak-anak di sini setamat SD biasanya pergi melaut, tapi saya ingin anak saya melanjutkan sekolah SMP di Kendari, di sana bisa ikut kerabat mereka.
Jika malam tiba, bulan purnama di atas Saponda terlihat eloknya. Cahaya bulan yang seolah lebih terang dari lampu-lampu di rumah warga yang berasal dari mesin berbahan bakar solar dan akan mati tiap pukul 11 malam setelah dinyalakan jam 6 sore. Listrik memang barang mewah di Saponda, tak ada aliran dari PLN. Bahkan pembangkit listrik tenaga surya pun tidak berfungsi lagi di sana.
Anak-anak Saponda usai belajar di sekolah seolah menikmati masa kecilnya dengan bermain bersama di alam. Tak ada permainan modern seperti yang lazim dijual di mal di perkotaan, permainan mereka cukup sederhana. Entah itu bermain masak-masakan, ayunan dari tali seadanya, mencari kerang di pinggir laut ataupun bermain kejar-kejaran di pantai.
Anak-anak Saponda bermain ayunan
Anak-anak Saponda bermain di pantai
Rumah nelayan di Saponda
Anak-sekolah SD
sumber & photo:
widikurniawan
Fri Jun 10, 2022 5:19 pm by dodolan
» Buah - Varau
Thu Dec 24, 2020 12:09 pm by kabaena
» 41 Istilah Pendakian
Wed Jan 23, 2019 11:19 am by kabaena
» Kabaena Kampo Tangkeno
Sat Oct 27, 2018 9:36 am by kabaena
» 5 Manfaat Ubi Jalar untuk Kesehatan Tubuh
Fri Oct 26, 2018 11:17 am by fla
» Berapa biaya sewa pesawat pribadi atau helikopter?
Wed Oct 24, 2018 10:05 am by fla
» Cara menggunakan 1 akun WhatsApp di 2 smartphone android
Fri Oct 12, 2018 7:32 am by kabaena
» Cara Mudah Membuka Proteksi Password Microsoft Office Excel Tanpa Software
Wed Sep 12, 2018 10:42 am by kabaena
» Serial Number NERO 6
Mon Sep 10, 2018 9:36 am by kabaena