Forum Kabaena™

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Berbagi Kabar & Info Disini - Follow Twitter @spiritualz_ dan @kabaena_

INFO UNTUK ANDA

Forum ini ada di Facebook

Share via Twitter

Follow Me : @kabaena_

Image hosted by servimg.com

Instagram Kabaena

Instagram

Kabaena Mailing List

Masukan Email Kamu:

Ngobrol Via Twitter

Latest topics

» HDD External New
Mengenal Pondok Boro EmptyFri Jun 10, 2022 5:19 pm by dodolan

» Buah - Varau
Mengenal Pondok Boro EmptyThu Dec 24, 2020 12:09 pm by kabaena

» 41 Istilah Pendakian
Mengenal Pondok Boro EmptyWed Jan 23, 2019 11:19 am by kabaena

» Kabaena Kampo Tangkeno
Mengenal Pondok Boro EmptySat Oct 27, 2018 9:36 am by kabaena

» 5 Manfaat Ubi Jalar untuk Kesehatan Tubuh
Mengenal Pondok Boro EmptyFri Oct 26, 2018 11:17 am by fla

» Berapa biaya sewa pesawat pribadi atau helikopter?
Mengenal Pondok Boro EmptyWed Oct 24, 2018 10:05 am by fla

» Cara menggunakan 1 akun WhatsApp di 2 smartphone android
Mengenal Pondok Boro EmptyFri Oct 12, 2018 7:32 am by kabaena

» Cara Mudah Membuka Proteksi Password Microsoft Office Excel Tanpa Software
Mengenal Pondok Boro EmptyWed Sep 12, 2018 10:42 am by kabaena

» Serial Number NERO 6
Mengenal Pondok Boro EmptyMon Sep 10, 2018 9:36 am by kabaena

Your Space

LIVE STREAMING TV

Live Streaming

Online Radio Live

Radio Online

    Mengenal Pondok Boro

    ni divi
    ni divi


    Jumlah posting : 323
    Join date : 05.12.09

    Mengenal Pondok Boro Empty Mengenal Pondok Boro

    Post  ni divi Sat Aug 27, 2011 7:03 pm

    Mengenal Pondok Boro

    Mengenal Pondok Boro 7
    Lokasi pondok boro terletak kurang lebih 3 km ke arah timur Kota Demak. tepatnya di Kelurahan Trimulyo kecamatan Genuk Semarang. Luas Area pondok boro mencapai 2.400 m2 dengan luas bangunan 285 m2 dan kapasitas huniannya terdiri dari 12 kamar tidur. Pondok boro ini dibangun pada tahun 1991/1992 dan pernah dilakukan renovasi total pada tahun 2004. Tarif sewa tiap kamar sebesar Rp 120.000 per bulan per kamar.Dan untuk tiap kamar dapat dihuni untuk 4 orang.

    SEJAK berkembang menjadi sebuah kota, Semarang kebanjiran pendatang. Tentu saja, mereka berharap menemukan kehidupan yang lebih baik di perantauan daripada di tanah kelahiran. Sayang, kadang harapan itu tak terwujud. Sebagian dari mereka tak berhasil mendapatkan pendapatan yang layak. Untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka harus bersusah payah. Pakaian mungkin tak banyak sementara pangan juga seadanya. Rumah idaman juga tak mungkin terengkuh. Maka sewa adalah satu-satunya pilihan .

    Sejarawan Dewi Yuliati, pernah mengungkap kondisi tempat tinggal bagi kaum buruh pendatang yang berpenghasilan rendah pada awal 1900-an. Mengutip sebuah sumber, dia menulis jika sekitar tahun 1917, banyak penginapan dengan harga murah yang dibangun. Penginapan itu kemudian disebut sebagai pondok boro.

    Bahkan pada 1917, Gemeente Semarang (pemerintah kota di zaman pendudukan Belanda) mengeluarkan izin bagi pembangunan 62 pondok boro baru. Tulisan Dewi juga mengungkap kondisi pondok yang jauh dari layak huni. Kondisi bangunan yang kumuh diperburuk dengan sanitasi yang tak layak membuat wabah penyakit menjangkiti.
    Hampir bisa dipastikan, mereka yang tinggal di sana hidup dalam kekelaman. Tapi para pendatang itu tak bisa berpindah karena kemiskinan yang menjerat.

    Istilah pondok boro hingga kini masih dikenal. Di Kampung Sumeneban, Kelurahan Kauman, Kecamatan Semarang Tengah ada tiga pondok boro yang dibentuk dari bangunan bekas gudang. Saat masuk ke sana kondisi yang terlihat lebih mirip lapak-lapak di pasar dengan sekat sederhana. Pada masing-masing ruangan terdapat dipan panjang di sisi kanan dan kiri. Di situlah para penghuni merebahkan badan.

    Salah satu penghuni pondok yang dekat dengan Pasar Johar, Sukeri (59), mengatakan tempat itu dihuni sekitar 200 orang. Mereka rata-rata kumpul dengan orang yang berasal dari satu daerah. Blok yang dia huni misalnya, dipenuhi orang-orang yang berasal dari Kebumen seperti dirinya.

    ’’Orang Sragen punya blok sendiri, begitu pula orang Kebumen. Tapi kadang saat penghuninya penuh, bisa saja mereka tidur di blok yang kosong. Perbedaan blok hanya faktor kedekatan antarpenghuni saja,’’ kata pria yang sehari-hari berdagang asongan.

    Amen Budiman pernah menulis kehidupan kehidupan di sana untuk Suara Merdeka. Dia menulis ‘’Pondok Boro di Sumeneban Tempat Bermalam bagi Kaum Pendatang’’ yang diterbitkan 6 November 1991. Pada tulisannya itu, dia menyebut harga sewa per hari setiap orang mencapai Rp 200. Sementara, pada 2010 harga sewanya sudah mencapai Rp 1.500.

    Kondisi pondok boro di situ masih menyisakan keburukan seperti yang terjadi pada 1900-an. Kondisi lingkungan cenderung tidak sehat dan keberadaannya masih kumuh. Meski demikian, bagaimanapun kehadiran pondok tersebut sangat membantu kehidupan kaum marginal seperti pedagang keliling, tukang becak, dan lain-lain.

    Keluarga Besar

    Pemkot Semarang juga memiliki pondok boro yang dikelolanya. Tempat tersebut menempati lokasi di Kelurahan Trimulyo, Kecamatan Genuk. Luas area pondok tersebut mencapai 2.400 m2 dengan luas bangunan 285 m2. Di sana ada 12 kamar tidur dan 6 kamar mandi. Setiap kamar berukuran 3x4 meter itu bisa dihuni empat orang.

    Pondok boro tersebut dibangun pada tahun 1991/1992 dan pernah dilakukan renovasi total pada tahun 2004. Tarif sewa tiap kamar per hari saat ini sebesar Rp 1.500 per orang. Meski demikian, apabila penghuni ingin membawa perlengkapan elektronik tambahan seperti televisi, seterika, atau lainnya dikenakan tambahan biaya. Kondisi bangunan yang bercat kuning muda itu bisa dikatakan lebih layak.

    Penjaga pondok tersebut, Sukajo, mengatakan ada 22 orang yang menghuni di sana hingga minggu kemarin. Mereka semua adalah buruh yang bekerja di kawasan industri di dekat pondok itu. Para buruh itu berasal dari berbagai daerah seperti Demak, Kudus, Purwodadi, dan Temanggung.

    ’’Mereka semua rata-rata sudah lama tinggal di sini. Jadi kami semua seperti keluarga besar saja,’’ ujar Sukajo yang menjadi penjaga Pondok Boro sejak bangunan itu pertama dibangun.
    Sebagai gambaran, dia bercerita panjang lebar soal kehidupan di sana. Setiap penghuni kenal satu sama lain dan saling membantu bila dibutuhkan. Warung yang didirikan istri Sukajo di halaman depan Pondok Boro sering menjadi tempat untuk berkumpul.

    Bahkan, para penghuni yang kerap makan di sana mendapat keistimewaan yang mungkin tak bisa mereka peroleh di warung lain. Mereka bisa meminta menu sesuai dengan yang diiinginkan. Sementara soal pembayaran, juga ada keleluasaan. Sukarjo dan istrinya memberi kesempatan pada penghuni Pondok Boro untuk membayar di saat mereka punya rezeki.

    ’’Sering pula, mereka yang tak lagi menghuni tempat ini, kembali sekadar untuk menyapa atau mengantar undangan karena akan menikah,’’ tambah Sukajo.

    Ya, pondok boro selalu menyajikan ragam cerita. Kemiskinan dan keterbatasan yang ada masih dibalut dengan kebahagiaan dan kenangan yang dirasa setiap penghuni. Upaya pemerintah untuk menyediakan hunian yang layak bagi masyarakat termasuk pondok boro tentu itu harus terus dikejar. Masih satu lokasi dengan Pondok Boro di Trimulyo, sebenarnya telah berdiri megah dua bangunan tingkat tiga bercat biru. Bangunan itu bakal melengkapi fasilitas yang sekarang berdiri. Namun, meski telah selesai dibangun tahun lalu, gedung dengan puluhan kamar itu tak juga difungsikan


      Waktu sekarang Fri May 10, 2024 7:50 am