Menanti Cinta, Menatap Konsekuensi
TIDAK pernah ada seorang perempuan yang berharap untuk tidak dicintai oleh seorang laki-laki. Tapi, latar belakang keluarga sepertinya punya pengaruh besar terhadap kehidupan percintaan seseorang. Di satu sisi, aku bisa merasa kuat tanpa kehadiran cinta. Namun di sisi lain, aku merasa sangat membutuhkannya.
Aku lahir di tengah-tengah keluarga dengan tingkat perekonomian yang bisa dikatakan sederhana. Ayah dan ibuku berprofesi sebagai guru sekolah dasar. Sebagai anak pertama, aku dididik orang tua dengan keras dan disiplin. Mereka seolah-olah ingin menyiapkanku agar mampu membawa nama baik keluarga dan menjadi anak yang berprestasi.
Cara orang tua mendidikku terbukti tepat dan berhasil. Aku mampu menunjukkan prestasi baik di bidang akademik dengan kemampuan otakku, sehingga akhirnya meraih gelar sarjana dan mendapatkan pekerjaan dengan jenjang karier yang cukup menjanjikan. Akan tetapi, entah mengapa sebagai manusia aku merasa kurang lengkap. Meskipun aku menyadari, tidak ada kebahagiaan yang sempurna.
Ketika remaja, orang tuaku memutuskan untuk berpisah. Aku dan adik-adik tinggal bersama ibu yang sangat telaten merawat dan membesarkan kami. Sementara itu, hubunganku dengan ayah cuma berlangsung alakadarnya, bahkan terkesan sekadar basa-basi. Secara fisik aku memang masih menjalin kontak dengannya, namun ikatan batin ayah dan anak di antara kami sudah sejak lama terputus.
Hal itulah yang akhirnya menimbulkan trauma mendalam di hatiku. Sebagai produk keluarga broken home, aku merasa takut untuk menjalin kisah cinta dengan seorang laki-laki. Aku tidak bisa membayangkan lelaki seperti apa yang pantas mendampingi hidupku kelak. Bayangan ayah sebagai kepala keluarga yang tidak bertanggung jawab tidak mampu kuhapuskan dari dalam kepala. Aku takut jika lelaki pilihanku nantinya akan meninggalkanku, sama seperti ayah yang tega meninggalkan dan mengabaikan keluarganya. Selama ini, ibu telah menjadi single parent yang tegar dan tabah. Aku hanya tidak ingin lelaki pilihanku nanti mengecewakan dirinya.
Sampai sekarang aku masih berusaha mengenyahkan kekhawatiran dari dalam diri. Namun aku sadar, apalah artinya hidup tanpa kehadiran cinta. Kini, aku merasa sudah lebih siap untuk menanti cinta dan menatap konsekuensi. Aku yakin suatu hari nanti akan menemukan sosok lelaki bertanggung jawab untuk kuperkenalkan sebagai calon pendamping hidup di hadapan ibu kelak.
Curahan hati: Yulia Agustin, 23, Karyawati
TIDAK pernah ada seorang perempuan yang berharap untuk tidak dicintai oleh seorang laki-laki. Tapi, latar belakang keluarga sepertinya punya pengaruh besar terhadap kehidupan percintaan seseorang. Di satu sisi, aku bisa merasa kuat tanpa kehadiran cinta. Namun di sisi lain, aku merasa sangat membutuhkannya.
Aku lahir di tengah-tengah keluarga dengan tingkat perekonomian yang bisa dikatakan sederhana. Ayah dan ibuku berprofesi sebagai guru sekolah dasar. Sebagai anak pertama, aku dididik orang tua dengan keras dan disiplin. Mereka seolah-olah ingin menyiapkanku agar mampu membawa nama baik keluarga dan menjadi anak yang berprestasi.
Cara orang tua mendidikku terbukti tepat dan berhasil. Aku mampu menunjukkan prestasi baik di bidang akademik dengan kemampuan otakku, sehingga akhirnya meraih gelar sarjana dan mendapatkan pekerjaan dengan jenjang karier yang cukup menjanjikan. Akan tetapi, entah mengapa sebagai manusia aku merasa kurang lengkap. Meskipun aku menyadari, tidak ada kebahagiaan yang sempurna.
Ketika remaja, orang tuaku memutuskan untuk berpisah. Aku dan adik-adik tinggal bersama ibu yang sangat telaten merawat dan membesarkan kami. Sementara itu, hubunganku dengan ayah cuma berlangsung alakadarnya, bahkan terkesan sekadar basa-basi. Secara fisik aku memang masih menjalin kontak dengannya, namun ikatan batin ayah dan anak di antara kami sudah sejak lama terputus.
Hal itulah yang akhirnya menimbulkan trauma mendalam di hatiku. Sebagai produk keluarga broken home, aku merasa takut untuk menjalin kisah cinta dengan seorang laki-laki. Aku tidak bisa membayangkan lelaki seperti apa yang pantas mendampingi hidupku kelak. Bayangan ayah sebagai kepala keluarga yang tidak bertanggung jawab tidak mampu kuhapuskan dari dalam kepala. Aku takut jika lelaki pilihanku nantinya akan meninggalkanku, sama seperti ayah yang tega meninggalkan dan mengabaikan keluarganya. Selama ini, ibu telah menjadi single parent yang tegar dan tabah. Aku hanya tidak ingin lelaki pilihanku nanti mengecewakan dirinya.
Sampai sekarang aku masih berusaha mengenyahkan kekhawatiran dari dalam diri. Namun aku sadar, apalah artinya hidup tanpa kehadiran cinta. Kini, aku merasa sudah lebih siap untuk menanti cinta dan menatap konsekuensi. Aku yakin suatu hari nanti akan menemukan sosok lelaki bertanggung jawab untuk kuperkenalkan sebagai calon pendamping hidup di hadapan ibu kelak.
Curahan hati: Yulia Agustin, 23, Karyawati
Fri Jun 10, 2022 5:19 pm by dodolan
» Buah - Varau
Thu Dec 24, 2020 12:09 pm by kabaena
» 41 Istilah Pendakian
Wed Jan 23, 2019 11:19 am by kabaena
» Kabaena Kampo Tangkeno
Sat Oct 27, 2018 9:36 am by kabaena
» 5 Manfaat Ubi Jalar untuk Kesehatan Tubuh
Fri Oct 26, 2018 11:17 am by fla
» Berapa biaya sewa pesawat pribadi atau helikopter?
Wed Oct 24, 2018 10:05 am by fla
» Cara menggunakan 1 akun WhatsApp di 2 smartphone android
Fri Oct 12, 2018 7:32 am by kabaena
» Cara Mudah Membuka Proteksi Password Microsoft Office Excel Tanpa Software
Wed Sep 12, 2018 10:42 am by kabaena
» Serial Number NERO 6
Mon Sep 10, 2018 9:36 am by kabaena